Lestari Industri F&B Indonesia

Pentingnya strategi untuk mempertahankan loyalitas konsumen di industri F&B menurut Feisal Hamka.
by Robb Report
0 comment

Dari maraknya berbagai industri yang berkembang di era 4.0. ini, industri food and beverages (F&B) senantiasa menjadi primadona. Terlebih di kota-kota besar seperti Jakarta. Menurut saya, salah satu faktor yang melatarbelakangi menariknya bisnis F&B adalah minimnya ruang komunal di Kota Jakarta, seperti taman-taman yang bisa masyarakat gunakan untuk berkumpul dan refreshing. Akhirnya, kafe, bar, dan restoranlah yang mengambil fungsi tersebut, sehingga membuat F&B makin menarik. Perkembangannya melaju cepat selama beberapa tahun terakhir, meski turut terhambat ketika Covid menyerang. Setelah masa pandemi mereda, F&B bangkit, walau ditandai dengan adanya fenomena bisnis F&B yang buka-tutup—menandakan betapa dinamis dan tersaturasinya industri tersebut. Tak ayal, para pengusaha perlu mengantongi strategi yang baik untuk berkecimpung di industri ini. Tidak bisa hanya berbekal tren semata.

Meski berbagai varian bisnis F&B bermunculan, tentu loyalitas tetaplah menjadi salah satu kunci kesuksesan sebuah usaha. Banyaknya tempat baru yang bermunculan tentunya menjadikan industri F&B termanjakan dengan terbukanya pilihan untuk mencoba hal-hal yang baru. Terbukti, tiap ada trend baru, pasti ada yang pindah dan mencoba. Maka, untuk perkara loyalitas, khususnya terkait pelanggan, saya yakin itu berkaitan dengan marketing psychology. Ada yang loyal karena tempat nyaman dan makanannya enak, sehingga mereka merasa hanya ada di tempat tersebutlah makanan nikmat tersebut bisa ditemukan. Bisa juga ada yang loyal karena rasa familiaritas dengan tempat hingga pegawai yang ada, sehingga timbul perasaan dihormati.

KAMA Senopati. Foto: KAMA.

Lebih lanjut, untuk mempertahankan loyalitas pelanggan sendiri, para pengusaha industri F&B perlu sering menggelar acara menarik. Tak hanya sekadar merancang acara, pemilik usaha juga perlu memanfaatkan era kolaborasi yang kini sedang booming. Di bisnis bar dan resto misalnya, acara seperti bar takeover dan chef collaboration perlu sering dieksplorasi. Tidak hanya mempertahankan loyalitas pelanggan, kolaborasi juga dapat membantu branding bar dan resto untuk tetap relevan dengan kebutuhan zaman.

Dulu saya selalu berpikir untuk mengeksekusi ide-ide baru terkait bisnis F&B, seperti menyajikan hidangan-hidangan luar negeri yang mungkin digemari pasar. Kini pikiran tersebut sudah bergeser. Saya menyadari bahwa pada kenyataannya, kita tidak boleh menyamakan pasar Jakarta dengan luar negeri. Sebab, kemungkinan pasar dalam negeri belum siap oleh adanya hal baru yang membutuhkan pengenalan secara perlahan. Untuk alasan yang sama, kesuksesan industri F&B juga bergantung pada riset yang mendetail, mulai dari lokasi hingga kompetitor. Riset tersebut penting untuk mengatasi sifat pasar Indonesia yang cenderung masih mengikuti apa yang menjadi kekinian saja.

Grilled 35 Days Dry Aged Black Garlic T-Bone. Foto: KAMA.

Terkait pasar, segmentasi yang konsisten juga perlu diperhatikan. Ada F&B yang buka untuk mass market, ada pula yang ditujukan untuk kaum-kaum menengah ke atas atau upscale market. Sebuah bisnis F&B perlu tahu kemana target pasarnya mengarah, karena hampir tidak mungkin untuk mengambil seluruh market sekaligus. Namun, pada akhirnya semua kembali kepada seperti apa operasional F&B berjalan. Di era ini, ada segelintir F&B yang berhasil memikat berbagai lapisan masyarakat, yakni Ayam Goreng Suharti dan Bakmi GM.

Setelah segmentasi pasar, produk F&B juga merupakan aspek lain yang turut jadi juru kunci. Produk merupakan penentu apakah suatu bisnis memiliki keunikan yang membedakannya dengan brand lain. Memang tidak mudah untuk membuat produk unik nan disukai pelanggan, tetapi itulah yang harus senantiasa kita kulik. Usai dengan produk, masih ada aspek branding hingga arsitektur yang tak boleh asal digarap. Dalam filosofi yang saya anut, berbisnis F&B perlu memuaskan kelima indra. Apa yang kita lihat, cium, makan, yang kita dengar dan rasakan itu semua harus diperhatikan dengan sangat baik. Saya percaya kalau semua indra terpuaskan, dalam hati kecil para pelanggan, mereka akan kembali bertandang dengan sendirinya.

Aspek terakhir yang tak boleh luput dalam bisnis di era ini adalah sustainability. Dalam hal ini, izinkan saya memperkenalkan Lean Mean, bisnis katering sehat yang bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan kesehatan pelanggan. Bidang produk makanan sehat seperti ini masih belum terlalu progresif, sehingga marketnya masih sangat tersegmentasi. Meski begitu, dengan adanya perkembangan tren globalisasi, seperti tayangan gaya hidup sehat di kanal digital layaknya Netflix dan YouTube, bukan tidak mungkin jika masyarakat akan makin terdorong untuk mulai menyemarakkan konsumsi produk F&B yang menyehatkan. Di era ini, perkara yang ada sudah bukan lagi soal mau atau tidak mau hidup sehat, tetapi bentuk informasi seperti apa yang diterima masyarakat.

You may also like