TA’AKTANA, Labuan Bajo: Ketika Kemewahan Bertemu Jiwa

by Fazil Pamungkas
0 comments

TA’AKTANA Labuan Bajo

Ada destinasi yang menyuguhkan keindahan. Dan ada pula tempat-tempat yang menyentuh nurani terdalam. TA’AKTANA, sebuah permata tersembunyi di tepian Labuan Bajo, termasuk dalam yang terakhir. Ia bukan sekadar resor mewah—melainkan ruang kontemplatif, sebuah karya hidup yang merangkul warisan budaya dan menghadirkan kembali makna sejati dari perjalanan.

Di balik harmoni tersebut, berdirilah sosok Peter-Paul Kleiss. Pria yang perjalanannya melintasi dapur pastry, ruang makan berbintang Michelin di Eropa, hingga hotel-hotel ikonik di Asia. Namun justru di Flores, ia menemukan panggilannya: membangun bukan hanya resor, melainkan pengalaman yang menyentuh batin.

“Saya tidak datang ke sini untuk membangun hotel. Saya datang untuk membangun sesuatu yang bernilai.”

Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Labuan Bajo pada tahun 2016, Peter-Paul langsung merasakan sesuatu yang istimewa. “Ada kedalaman di sini—sebuah ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Tempat ini bukan sekadar destinasi, tapi rumah kedua yang memanggil saya,” tuturnya.

TA’AKTANA bukanlah properti yang dirancang untuk mencuri perhatian, melainkan untuk menyatu dengan lingkungan dan sejarah. Vila-vila yang berdiri di atas laut menggambarkan gaya hidup suku Bajau, para pelaut nomaden Nusantara. Sementara itu, suite-suite di darat menggemakan nilai kebersamaan masyarakat Manggarai. Spa-nya? Sebuah ruang hening yang terinspirasi dari gua batu kapur Flores—tempat untuk pulang ke dalam diri.

Kemewahan yang Tidak Membutakan, Tetapi Menyadarkan

Di TA’AKTANA, kemewahan hadir dalam keheningan yang lembut. Bukan gemerlap yang mencolok, melainkan sentuhan yang jujur. Dalam tekstur kayu, pada cahaya senja yang jatuh ke permukaan air, hingga dalam detail desain yang dikerjakan oleh tangan-tangan lokal.

“Kami tidak mengimpor kemewahan dari luar. Kami menyusunnya dari akar, dari cerita, dari napas pulau ini,” ungkap Peter-Paul.

Dari rumah sangrai kopi dengan sembilan jenis biji dari seluruh Indonesia, hingga bar di dermaga—Mika—yang menyajikan sopi, minuman tradisional Flores, dalam ritual matahari terbenam. Setiap elemen diresapi dengan makna dan keaslian.

Air Mata di Akhir Perjalanan

Yang tak terduga, namun sering terjadi di TA’AKTANA: air mata perpisahan. “Ada tamu yang menangis saat kami menggelar ritual perpisahan. Mereka tak menyangka, bahwa tempat ini begitu memengaruhi mereka secara emosional,” ujar Peter-Paul lembut.

Apa yang mereka rasakan bukan sekadar liburan, melainkan keterhubungan—dengan alam, dengan budaya, bahkan dengan sisi terdalam dari diri mereka sendiri. Dalam dunia yang serba cepat dan instan, TA’AKTANA hadir sebagai ruang untuk diam dan merenung.

Kemewahan yang Memberi, Bukan Mengambil

Mendirikan resor mewah di wilayah terpencil tentu bukan tanpa tantangan. Tapi bagi Peter-Paul, tantangan itu justru bagian dari tujuan mulia. “Kami tidak hanya hadir untuk menjamu wisatawan, tetapi untuk berkontribusi,” tegasnya.

TA’AKTANA melatih talenta lokal, menggandeng pengrajin tradisional, serta menjalankan program konservasi dan kebersihan pantai bersama masyarakat dan LSM. “Kemewahan sejati harus punya hati. Ia harus menciptakan dampak baik—bukan sekadar memanjakan.”

Berapa Lama Waktu yang Ideal untuk Menginap?

“Setidaknya tiga hingga empat malam,” jawabnya. “Agar ada cukup waktu untuk menjelajahi lautan, merasakan keramahan desa, bersantai di spa—dan yang terpenting, memberi ruang bagi batin untuk tersentuh.”

Sebab TA’AKTANA bukan sekadar tempat singgah. Ia adalah cermin—yang memantulkan kembali siapa kita sebenarnya saat kita melambat dan mendengarkan.

Dan Saat Mereka Pulang?

Peter-Paul terdiam sejenak, lalu tersenyum, menatap jauh.

“Saya berharap mereka pulang dengan hati yang lebih ringan. Bukan karena koper mereka kosong, tapi karena mereka meninggalkan beban yang tak perlu. Dan mungkin, mereka membawa pulang sesuatu yang tak kasat mata—namun tak akan pernah mereka lupakan.”

TA’AKTANA, a Luxury Collection Resort & Spa, Labuan Bajo adalah puisi. Sebuah undangan untuk menyatu dengan alam, budaya, dan diri sendiri. Di ujung timur Indonesia, di tempat di mana laut dan langit bersentuhan, kemewahan sejatinya adalah tentang apa yang benar-benar kita rasakan.

Ditulis oleh: Rachel Octavia

You may also like