Negara kecil nan indah di Asia Selatan, Bhutan, didefinisikan oleh lanskapnya yang dipenuhi oleh pohon cemara hijau zamrud, lahan pertanian yang menyelimuti daratan, dan jalan berkelok yang tak berujung. Di negara ini, salju putih pada puncak gunung menciptakan aura mistis, guntur dianggap sebagai pertanda kehadiran dari para naga, dan televisi baru diperkenalkan tepat sebelum pergantian milenium baru. Sebanyak 71 persen dari wilayahnya tertutupi oleh hutan.
Memiliki keindahan yang memikat, kerajaan terpencil di Himalaya ini populer dengan kuil-kuil menantang gravitasi yang menempel di tebing-tebingnya. Tidak hanya itu, ia juga dikenal sebagai satu-satunya negara yang mengukur GNH (Gross National Happiness) daripada Produk Domestik Bruto (PDB) sebagai bentuk mengutamakan kebahagiaan nasional. Belakangan ini, Bhutan juga diakui atas upaya mendukung lingkungannya dan menjadi negara pertama yang mencapai status karbon-negatif.
Dahulu, Bhutan identik sebagai negara tujuan para backpacker—kebanyakan dari kalangan yang menggemari gaya hidup sederhana dan terbatas secara finansial. Namun, memasuki ulang tahun ke-50 dalam industri pariwisata—yang dimulai pada tahun 1974 saat 300 paspor diterbitkan untuk pendaki gunung dan pencari spiritual —negara ini mencoba merubah citranya menjadi destinasi mewah. Dan dalam usahanya untuk mencapai eksklusivitas, Bhutan memberi dampaknya secara langsung pada kantong para wisatawan.
Ketika negara ini kembali dibuka setelah lockdown Covid-19 pada September 2022, pemerintah menerapkan sebuah kebijakan kontroversial yaitu Sustainable Development Fee (SDF) sebesar US$200 per orang per hari. Kebijakan biaya harian ini menjadikan Bhutan tak terjangkau bagi para backpacker dan wisatawan yang lebih hemat biaya dari seluruh dunia. Banyak pemandu wisata lokal dan pemilik hotel juga menyatakan kekhawatiran bahwa biaya ini akan memengaruhi pendapatan mereka.
Namun, kebijakan ini tidak berhasil. Hasilnya, pada 1 September 2023, Bhutan memotong setengah dari biaya tersebut bagi wisatawan yang membayar dengan mata uang dolar Amerika hingga tahun 2027. Diskon sebesar 50 persen diberikan kepada anak-anak berusia enam hingga dua belas tahun.
“Bhutan selalu memiliki SDF,” ungkap Dorji Dhradhul, Direktur Jenderal Departemen Pariwisata Bhutan. “Selama bertahun-tahun, biayanya sebesar US$65. Kami merasa ini saat yang tepat untuk menegaskan fokus Bhutan pada pariwisata bernilai tinggi dengan volume rendah.”
Biaya sebesar US$100 per hari bagi wisatawan Amerika Serikat tetap menjadi jumlah yang signifikan, dan ini mengubah alur pariwisata negara ini. Kini, penginapan mewah mulai berjamuran, dengan lebih dari satu lusin penginapan mewah tersebar di seluruh Bhutan.
Dua nama besar dalam dunia pariwisata Six Senses dan Aman memiliki penginapan yang indah dan khas di setiap hotspot wisata di negara ini: Paro, Thimphu, Punakha, Gangtey, dan Bumthang. Como mengoperasikan penginapan yang menyerupai dzong (bekas benteng yang diubah menjadi kantor administrasi dan kuil) di Paro dan Punakha. Dan musim gugur ini, Punakha River Lodge milik andBeyond akan ditambahkan ke daftar penginapan tersebut.
Di Lembah Gangtey, habitat burung bangau leher hitam yang menarik perhatian wisatawan naturalis dari seluruh dunia pada bulan Oktober hingga Februari, Gangtey Lodge yang dimiliki secara independen adalah salah satu penginapan yang paling istimewa di negara ini. Gedung utama dengan langit-langit tinggi dihiasi dengan lukisan tangan yang menggambarkan pemandangan lembah dan dikelilingi oleh dua perapian batu. Di dalam masing-masing dari 12 kamar, kenyamanan berlanjut dengan fasilitas lantai pemanas, perapian kecil, dan bak mandi yang menawarkan pemandangan lembah.
Di penginapan-penginapan seperti ini, para hotelier mulai melihat perubahan. Di tempat yang begitu spiritual seperti Bhutan—di mana 75 hingga 80 persen dari populasi kurang dari 800.000 orangnya adalah penganut Buddhisme Mahayana—meditasi dan kunjungan ke kuil biasanya menjadi alasan utama bagi para pengunjung. Namun kini, pecinta alam mulai berdatangan.
Selain trek Tiger’s Nest yang terkenal, destinasi pendakian kelas dunia tersebar di seluruh Bhutan, dan penginapan-penginapan ini menggabungkannya dengan pengalaman yang lebih istimewa. Di Gangtey Lodge, para tamu dapat memanjat ke puncak gunung di mana terdapat pemandangan 360 derajat dan menikmati makan siang tiga hidangan. Dan di Six Senses Thimphu, pendakian melelahkan ke Nimnub Point akan terbayar begitu menikmati koktail favorit dan canapé saat matahari terbenam di pegunungan.
“Pendekatan Bhutan terhadap pariwisata berarti tanpa kerumunan, tanpa antrian, minim konsumerisme, dan memberikan kesempatan untuk meresapi budaya otentik yang kaya akan tradisi,” ujar Andrew Whiffen, manajer umum Six Senses Bhutan. “Fokus dari perjalanan mewah telah berkembang menjadi tentang pengalaman, penemuan, dan hubungan yang memiliki makna. Bhutan menawarkan semua ini secara berlimpah.”
Informasi Tambahan
Cara Menuju Bhutan
Berdasarkan hukum, hanya pilot asal Bhutan yang dapat mendarat di antara pegunungan di Bandara Internasional Paro. Royal Bhutan Airlines (atau DrukAir) dan Bhutan Airlines adalah dua maskapai di negara ini. Keduanya memiliki koneksi melalui pusat transit besar seperti Bangkok, Singapura, dan Delhi, sehingga transit sudah pasti menjadi bagian dari petualangan kedatangan Anda.
Transportasi Lokal
Jalanan di sekitar Bhutan dapat menjadi sangat berbahaya (jangan lupa membawa obat untuk mengatasi mabuk perjalanan), sehingga supir pribadi sangat diperlukan. Mendapat mobil dan supir pribadi dapat dibantu melalui operator tur, agen perjalanan, atau penginapan Anda.
Operator
Meskipun tidak lagi diwajibkan, tur kelompok dan pribadi adalah hal yang umum di Bhutan, dan terdapat banyak operator terkemuka yang bisa dipilih. Remote Lands, Scott Dunn, dan Artisans of Leisure dapat membantu menyusun rencana perjalanan impian Anda di Bhutan. Dan mengingat alam menjadi prioritas utama bagi sebagian besar orang, pilihlah musim semi (Maret hingga Mei) dan musim gugur (September hingga November) untuk berkunjung.