Dengan pengalaman mengoleksi seni rupa selama 30 tahun di Indonesia, Prasodjo Winarko telah mengabdikan diri secara luar biasa pada dunia seni. Prasodjo kini berkeinginan untuk menampilkan warisan cerita karya seninya kepada kolektor-kolektor lain, terutama mereka yang masih muda dan penasaran mengenai rahasia menjadi seorang kolektor. Bagi Prasodjo, kunci utama dalam memilih karya seni adalah kesukaan pribadi. Ia menegaskan bahwa kolektor sejati harus membeli karya yang benar-benar mereka sukai dan ini merupakan titik awal paling penting. Prasodjo menolak pandangan bahwa seni harus dianggap sebagai investasi atau aset semata, lebih mengedepankan nilai estetika daripada nilai finansial. Meskipun kenaikan nilai sebuah karya seni seiring waktu bisa menjadi bonus, Prasodjo percaya bahwa menikmati seni itu sendiri adalah inti dari koleksi yang autentik. Dengan berpegang pada prinsip ini, Prasodjo berharap setiap kolektor dapat menemukan kepuasan sejati dan tidak terjebak dalam tekanan tren pasar, karena, menurutnya, memprediksi kesuksesan seorang seniman bukanlah hal yang dapat diprediksi dengan pasti.
Pada sekitar tahun 2000, era Balindo, Prasodjo menghadapi pilihan sulit antara lukisan Mangu Putra dan Masriadi, yang saat itu memiliki kisaran harga sekitar Rp30-50 juta. Meskipun harga keduanya sebanding, Prasodjo memilih untuk membeli karya Mangu Putra. Keputusan ini didasarkan pada apresiasi Prasodjo terhadap teknik lukisan Mangu Putra yang lebih mendalam dan kemampuannya dalam menguasai berbagai gaya lukisan. Meskipun pada saat itu karya Masriadi tampak “nyeleneh” dengan postur subyek yang gendut dan candaan yang unik, kenyataannya, perkembangan harga karya Masriadi sekarang mungkin membuat Prasodjo merenung. Meski begitu, Prasodjo tidak patah semangat dan terus mengikuti perkembangan seni, tetap mengapresiasi karya-karya tersebut, dan merasa senang melihat kesuksesan mereka.
Di samping cintanya terhadap seni lukis, Prasodjo juga memiliki ketertarikan yang mendalam pada seni musik. Pada tahun 2005, Prasodjo bersama teman-temannya mendirikan institusi bernama Jakarta Drum School. Fokus utama sekolah ini adalah mengembangkan talenta para pemain drum. Meskipun tidak umum seperti sekolah musik lainnya, Jakarta Drum School memiliki pendekatan yang sangat spesifik dalam materi pelajarannya. Institusi yang terdaftar sebagai Sekolah Kejuruan setara D3 dari Depdikbud ini memiliki persyaratan yang cukup ketat, tercatat hanya sedikit yang berhasil lulus dan menjadi drummer profesional dalam rentang waktu 17 tahun. Kendati demikian, banyak jebolan sekolah ini yang telah membuktikan keahlian mereka di bidangnya bahkan sebelum lulus dan telah berkarier dengan sukses. Beberapa di antaranya termasuk drummer dari band Elemen, drummer dari band Samsons, dan salah satu direktur artistik untuk penyanyi Raisa. Sebagian besar eks-murid sekolah ini telah mencapai prestasi gemilang dalam karir musik mereka, mencerminkan semangat dan dedikasi luar biasa dari Prasodjo, di konsentrasi seni lain.
Pendirian institusi Jakarta Drum School oleh Prasodjo juga diilustrasikan sebagai upaya agar namanya dapat dikenang, mirip dengan Master Oyama dan institusi Kyokushinnya. Prasodjo berdiskusi dengan teman drumnya, Hari Murti dan Taufan Gunarso, untuk menghindari kemungkinan generasi mendatang bertanya, “Siapa itu Jelly Tobing, Pak?” Prasodjo sadar akan adanya kesenjangan pengetahuan tersebut, terutama karena Jelly Tobing adalah seorang drummer hebat pada era 80-an yang mungkin tidak dikenal oleh generasi muda.
Sambil berjalan mengelilingi karya-karya lukisan yang dipamerkan, Prasodjo memulai tur pribadi untuk tim Robb Report Indonesia, membagikan kisah menarik di balik beberapa lukisan. Salah satu cerita dimulai dari lukisan karya I Nyoman Gunarsa. Diceritakan saat Prasodjo berkunjung ke Museum Nyoman Gunarsa dan menemukan lukisan yang sangat menciptakan koneksi emosional baginya, hasil uang angpao pernikahannya pun digunakan oleh Prasodjo untuk membeli lukisan ini.
Cerita berlanjut dengan lukisan dari Jeihan Sukmantoro pada tahun 90-an yang sudah memiliki harga yang cukup tinggi, mencapai Rp40 juta. Prasodjo, yang saat itu masih muda dan gajinya terbatas, memutuskan untuk menemui Jeihan. Dengan jujur, Prasodjo mengungkapkan bahwa gajinya saat itu hanya Rp2 juta. Jeihan lalu menawarkan opsi cicilan yang memungkinkan Prasodjo untuk membayar lukisannya secara bertahap dengan harga khusus yang diberikan oleh seniman tersebut.
Cerita selanjutnya berasal dari Mangu Putra, yang menceritakan pengalaman Prasodjo saat berada di dalam proses pembuatan lukisan On the Spot. Mangu Putra melibatkan Prasodjo dalam karyanya, dan dalam waktu sekitar satu setengah jam, lukisan tersebut selesai dengan sentuhan langsung dari sang seniman.
Masuk ke era reformasi, peristiwaperistiwa signifikan dan kerusuhan heboh di Indonesia pada tahun 1965 dan 1998 menjadi titik balik penting bagi Prasodjo. Pada tahun 1998, ketika Prasodjo berusia 30 tahun, peristiwa tersebut, yang melibatkan pengungsian dan kekacauan di bandara, memberikan pemahaman yang mendalam dan pengalaman langsung kepada Prasodjo. Ingin mengabadikan momen-momen kelam dan memahami perubahan yang terjadi melalui lensa seni, Prasodjo memiliki koleksi karya-karya yang merefleksikan periode reformasi.
Salah satu karya pertama dalam koleksi ini adalah dari Isa Perkasa, yang memenangkan penghargaan dari Philip Morris regional di Asia Tenggara. Ada pula lukisan dari Tatang Ganar yang mencakup tokoh-tokoh terkenal pada era reformasi, termasuk Mbak Tutut, Om Liem, Bimantara, dan peristiwa BLBI. Paul Hendro juga menyumbangkan karyanya yang menggambarkan perebutan kekuasaan. Karya lain yang menarik adalah karya Isa Perkasa dari periode tahun 2009-2010, di saat ia membuat dua pameran yang saling berkaitan untuk menggambarkan era sebelum dan sesudah reformasi. Karya ini diberi judul Ingatan yang Diseragamkan. Pameran ini mencerminkan bagaimana pada masa pemerintahan mantan Presiden Soeharto, ingatan masyarakat seragam dan terpola sesuai dengan pemikiran tertentu. Namun, setelah reformasi, lukisan Isa Perkasa mengekspresikan respon pelukis yang menentang penyalahgunaan kekuasaan, dengan merinci seragam sebagai simbol pembebasan dari era ingatan yang diseragamkan.
Dalam perjalanannya menyusuri karya-karya lukisan, Prasodjo membagikan sejumlah cerita menarik terkait koleksinya. Lukisan lama karya Entang Wiharso pada tahun 1997, menurutnya, telah mencapai kualitas museum dan tidak dapat kembali ke periode tersebut. Lukisan tersebut mencakup tragedi 1998, jatuhnya Presiden Soeharto, dengan pendekatan premonition yang menggambarkan peristiwa-peristiwa signifikan dan menyiratkan hipotesis tentang potensi munculnya kebijakan yang memicu perlawanan rakyat.
Masuk ke era pasca reformasi dan kebebasan, karya-karya seperti Long Walk to Freedom oleh Sutjipto Adi, I am Human Too oleh Christine Ay Tjoe, dan Freedom oleh Naufal Abshar merefleksikan tema demokrasi dan kebebasan. Di sisi lain, Prasodjo juga menyoroti lukisan di lantai dua, karyakarya Entang Wiharso pada tahun 2016, seperti Breathing Together, mengisahkan tentang persatuan meskipun berada di tempat dan kondisi yang berbeda. Selanjutnya, koleksi dari sembilan karya Arie Smit, dalam rentang waktu tujuh dekade, menunjukkan variasi gaya yang sengaja dipilih Prasodjo untuk keunikannya, bukan tingkat komersialisasinya.
Lukisan Soedjojono, bila diperhatikan dengan seksama, menggambarkan seorang anak kecil yang sedang berdoa dengan lambang hatinya. Lukisan ini mencerminkan kesucian dan kejujuran anak-anak saat berdoa, sementara terkadang orang yang lebih tua sudah terpengaruh oleh pencitraan dan agenda lain yang mungkin memengaruhi ketulusan mereka. Karya Popo Iskandar memiliki sebuah cerita unik. Ia memiliki hubungan dekat dengan Zhou Chunya, yang pernah berkunjung ke rumah mereka. Setelah melihat lukisan karya Popo, Zhou Chunya terinspirasi dan menciptakan karyanya sendiri yang diberi judul The Green Dog. Ini menunjukkan bagaimana seni dapat menginspirasi dan berkembang melalui interaksi dan dialog antara seniman.
Sebagai penutup, Prasodjo menyajikan karya Hahan atau Handoko Eko Prasetyo, yakni lukisan emas yang diletakkan di sebelah emas murni. Terdapat juga sebuah pernyataan yang mengajukan pertanyaan: How a value of an object determines, yang mengacu pada lukisan dan emas ini dibuat oleh manusia tetapi dari material yang berbeda. Pertanyaannya menantang pemikiran tentang bagaimana nilai suatu objek dapat ditentukan, apakah dari materialnya atau dari makna dan karya seni yang terkandung di dalamnya di masa yang akan datang. Dengan hal ini, perjalanan koleksi seni Prasodjo terus berkembang, memperkaya pengalaman dan apresiasi seni. Dalam ekshibisi ini pula, Prasodjo mengungkapkan, “Saya tidak hanya ingin membuatnya sebagai pameran visual, tetapi juga ingin memberikan pemahaman mendalam mengenai makna dan cerita di balik karya seni, baik dari perspektif pribadi saya maupun pelukisnya.” “Saya pun berharap agar pameran ini memiliki dimensi edukatif bagi para pengunjungnya,” tutupnya sambil tersenyum.